Makalah: Akuntabilitas Pengelolaan Dana Bencana

Tinggalkan komentar

PENDAHULUAN

Adanya bencana adalah sebuat fitrah bagi setiap negara di bumi ini, tak pandang negara maju atau berkembang. Keberadaannya tak bisa ditolak dan dilawan. Negara hanya bisa mencegahnya, pun jika bencana terlanjur terjadi, kebijakan manajemennya yang kemudian menjadi pilihan negara tersebut. Konsep manajemen bencana pun berkembang di setiap negara. Tak ketinggalan negara berkembang seperti Indonesia. Pengalaman bencana alam yang semakin deras menghampiri bangsa ini, membuat negara berpikir keras untuk mencari solusi dalam mengatasi bencana. Bencana besar seperti tsunami yang menghantam Aceh dan Nias tahun 2004 silam, kemudian gempa yang meluluhlantahkan DIY-Jateng ditahun 2006, serta berbagai bencana lainnya sepertinya telah menyadarkan bangsa ini bahwa kita berdiri diatas negara yang memang rawan bencana. Berbagai konsep menajemen bencana pun diangkat, mulai dari konsep siklus bencana, manajemen bencana berbasis komunitas, desa siaga bencana, early warning system) dan masih banyak lagi. Tak ketinggalan regulasi tentang penanganan bencana, dan pembentukan badan nasional penanganan bencana menjadi kebijakan pemerintah. Tampaknya bangsa ini mulai sadar untuk belajar berkawan dengan bencana.

Lepas dari kewajiban negara dalam menangani bencana, sisi penting yang tak kalah penting disorot adalah solidaritas kemanusiaan yang makin erat di era ini. peran media yang semakin mengglobal, batas-batas negara yang telah hilang, telah menghimpun rasa kemanusiaan bukan hanya level nasional, melainkan internasional. Berbagai bantuan kemanusiaan mulai dari pangan, sandang, infrastruktur, medis, maupun dalam bentuk uang mengalir deras. Jumlah sangat banyak bahkan fantastis. Dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk menangani korban bencana dari tanggap darurat sampai kepada rehabilitasi dan rekonstruksi, karena tentu akan mengalami kesulitan ketika hanya mengandalkan dana dari pemerintah. Dalam pembiayaan proses penanganan bencana, mulai dari keadaan tanggap darurat sampai kepada tahap kesiap-siagaan (sebelum bencana) pun sebenarnya masih banyak permasalahan. Namun dalam makalah ini, saya hanya akan memaparkan dari sisi akuntabilitas penggunaan dana bencana saja. Hal ini sangat penting mengingat langkah penggunaan dana tersebut tidak diikuti dengan akuntabilitas, transparansi, dan laporan penggunaan dana yang memuaskan terutama ke publik. Ini adalah masalah yang sering terjadi, karena terkadang masyarakat juga kurang kritis terhadap penggunaan dana dan penyaluran dana oleh lembaga/badan yang menangani bencana. Fenomena ini akan menyebabkan kondisi lain yang memicu kerusuhan dan kegelisahan masyarakat seperti protesnya masyarakat korban bencana terhadap dana rekonstruksi, program pemulihan sarana yang mandeg, dan lain sebagainya.

Makalah ini setidaknya ingin menjelaskan dua ide utama yaitu mengenai pemetaan sumber-sumber pembiayaan untuk proses tanggap darurat kebencanaan, dan mengelaborasi serta menganalisa akuntabilitas pengelolaan dana bencana. Pemaparan ini dilengkapi dengan analisis aktor-aktor yang terlibat terutama dalam penyumbang dana, dan pengelola dana, serta bagaimana mekanisme akuntabilitas tersebut coba untuk dibangun. Namun sebelum sampai ke ide utama, saya akan memaparkan secara singkat terlebih dahulu apa itu bencana dan bagaimana logika negara harus bertanggung jawab terhadapnya.

PEMBAHASAN

Apa itu bencana dan tanggung jawab negara

Menurut UU No 24 tahun 2007, yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Salah satu dari jenis bencana itu sendiri adalah bencana alam. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana akan membuat manusia dalam keadaan krisis, keterbatasan dalam mengakses berbagai sumber penghidupan karena rusaknya berbagai sarana fisik maupun non fisik dan sarana pelayanan negara terhadap masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lainnya.

Mengingat konstitusi negara kita, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dan negara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan. Sehingga negara dalam hal ini harus bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan bangsanya termasuk dalam keadaan bencana yang terjadi. Hal ini juga senada dengan pendapat Wolfgang Friedman menyebutkan bahwa fungsi negara adalah sebagai: provider (penyedia), regulator (pengatur), entrepreneur (mensejahterakan), dan umpire (penengah).[1] Dalam kondisi bencana seperti inilah kemudian negara seharusnya bisa lebih responsif dan kritis terhadap tugasnya karena memang kondisi krisis yang dialaminya saat bencana terjadi ditambah wilayah NKRI yang memang rawan bencana.

 

 

Penganggaran Bencana

Antara tugas/kewajiban negara dan pengalaman yang banyak karena telah ditimpa bencana yang tak kunjung berhenti, negara dalam hal ini pemerintah pusat (eksekutif dan legislatif) telah memperlihatkan niat baiknya untuk menangani bencana secara lebih serius. Dalam tataran regulasi misalnya, kita bisa mengetahui produk-produk hukum yang telah dikeluarkan negara seperti UU Penanggulangan Bencana, Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Proses Penganggaran, Pengelolaan Pendanaan, dan produk hukum lainnya untuk menciptakan pengelolaan bencana yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Terutama dalam produk pendanaan bencana, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi khusus untuk mengatasi masalah pendanaan. Regulasi ini ditujukan untuk mendukung upaya penanggulangan bencana sehingga berdaya guna, berhasil guna, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan dukungan finansial inilah kemudian program manajemen bencana dibiayai. Baik yang berupa sarana fisik seperti jalur-jalur evakuasi, penyediaan unit-unit teknis tanggap darurat (ambulans, mobil pengungsi, dll), detector tsunami, detector longsor, dan lain-lainnya. Maupun program yang non fisik seperti sosialisasi pengurangan resiko bencana, sosialisasi kebijakan desa siaga/tangguh, pelatihan dan simulasi bencana, dan lain sebagainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dana penanggulangan bencana adalah dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana untuk tahap prabencana, tanggap darurat dan/atau pasca bencana. Sangat luas memang skope pembiayaannya. Sehingga jenis pendanaanyapun bisa kita bagi sesuai dengan ketentuan produk hukum yang berlaku yaitu Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2008:

  1. Dana kontinjensi bencana adalah dana yang dicadangkan untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana tertentu atau pra bencana. Dana ini berasal dari penganggaran APBN untuk tahap kesiap-siagaan pada tahap pra bencana.
  2. Dana siap pakai adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat tanggap darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat berakhir. Dana ini berasal dari penganggaran APBN namun ditempatkan pada BNPB (Badan Nasional Penanganan Bencana). Pemerintah Daerah juga bisa menyiapkan dana siap pakai dengan menganggarkan dari APBD nya dan ditempatkan dalam BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).
  3. Dana bantuan sosial berpola hibah adalah dana yang disediakan Pemerintah kepada pemerintah daerah sebagai bantuan penanganan pascabencana. Dana ini bersumber dari APBN.

Dana-dana tersebut bersumber dari:

  1. Pemerintah (APBN dan APBD)
  2. Masyarakat, lembaga donor baik dalam maupun luar negeri, bantuan asing.

 

Pembiayaan Tanggap Darurat

Dalam proses tanggap bencana, dana yang dipakai untuk mengelola bencana adalah dana siap pakai. Dana ini memang dana yang harus siap dan cepat cair, mengingat proses tanggap darurat yang memang membutuhkan penanganan serba cepat. Berbeda dengan jenis dana lainnya yang relatif membutuhkan waktu lama dan proses pengajuan yang lama pula. Karena karakter jenis dana yang berbeda ini maka pengelolaan dan penggunaannya harus efektif dan efisien, namun prosedur juga berbeda dan tidak berbelit-belit karena dihadapkan pada kondisi yang tidak biasa (genting). Untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi agar sesuai peraturan yang berlaku, maka kepala BNPB mengeluarkan Perka BNPB No 6 Tahun 2008 yang mengatur pedoman penggunaan dana siap pakai pada proses tanggap darurat.

Dana ini berasal dari APBN/APBD yang telah ditempatkan dalam anggaran BNPB/BPBD. Beberapa mendapatkan sumber dana tambahan dari DAK yang besarannya telah disesuaikan. Dan sesuai dengan kewenangannya, pengelolaan dan penggunaan dana tersebut dikelola oleh BNPB/BPBD. Untuk daerah kabupaten/propinsi yang belum mempunyai lembaga tersebut, maka pengelolaannya diserahkan ke lembaga yang menangani penanggulangan bencana. Di Propinsi Yogyakarta misalnya dikelola oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Dana siap pakai ini digunakan untuk:

  1. Pelaksanaan pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya.
  2. Kegiatan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana.
  3. Pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana.
  4. Pelaksanaan perlindungan terhadap kelompok rentan
  5. Dan kegiatan pemulihan darurat prasarana dan sarana.

Dana siap pakai tersebut diusulkan oleh pemerintah terkait kepada kepala BNPB dengan menyampaikan laporan kejadian, jumlah korban, kerusakan dan bantuan yang diperlukan. Penetapan besar bantuan (uang tunai, barang, jasa) dapat dilakukan berdasarkan usulan dari daerah instansi/lembaga terkait, laporan Tim Reaksi Cepat (TRC), hasil koordinasi, atau inisiatif dari BNPB sendiri. Jadi prosedurnya adalah ketika BNPB mendapatkan laporan bencana, maka tim dari BNPB (TRC) akan mengecek lapangan dan memverifikasi data yang diperoleh sebagai pedoman mengeluarkan dana. Bantuan dana tersebut langsung diserahkan kepada pemerintah propinsi/kabupaten untuk segera didistribusikan dan digunakan untuk keperluan penanganan bencana. Logika teknokratis administratif sangat kental dalam proses ini. Setiap proses penyerahan harus terekam dan terdokumentasikan dalam sebuah catatan administrasi.

Untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana penanggulangan bencana, maka penerima bantuan dana siap pakai harus memberikan laporan pertanggung jawaban sesuai ketentuan yang berlaku. Pertanggungjawaban kinerja dan keuangan tersebut harus segera dilaporkan ke BNPB/BPBD selambat-lambatnya tiga bulan setelah masa tanggap darurat. Jika terdapat sisa dalam pemakaian dana penanggulangan bencana tersebut maka wajib untuk dikembalikan ke kas negara dengan bukti setoran disampaikan kepada BNPB. Penyetoran sisa dana tersebut dilakukan bersamaan dengan masa pertanggungjawaban dana siap pakai.

 

 

 

Analisa Akuntabilitas Pengelolaan Dana Bencana

Seperti yang telah sempat disinggung di awal pembahasan, bahwa persoalan akuntabilitas pengelolaan dana penanggulangan bencana masih sangat minim. Salah satu faktor utamanya adalah karena sifat bencana itu sendiri yang merupakan kondisi extraordinary, sehingga seringkali program yang digulirkan berjalan di luar standar operasional prosedur yang ada dalam kondisi normal.[2] Permasalahan seperti ini hampir merata di seluruh wilayah/daerah. Penanganan untuk distribusi bantuan bagi masyarakat korban bencana juga terjadang kurang maksimal dan penuh kekeliruan karena kesalahan administratif dan terkendala keadaan situasi krisis, sedangkan bagi instansi penyelenggara administrasi seperti bukti penerimaan bantuan, kartu tanda penduduk sangatlah penting. Banyak sekali permasalahan yang terjadi ketika mis-alokasi dana bantuan, atau penumpukan dana bantuan karena memang sulitnya keadaan dan kurangnya koordinasi.

Berikut ini beberapa contoh penyimpangan dana bantuan bencana yang terjadi dengan berbagai macam modusnya:[3]

  1. Penggelembungan data administrasi penduduk yang menjadi korban. Menggelembungkan data jumlah penduduk yang menjadi korban bertujuan mendapatkan alokasi dana bantuan lebih besar dari yang sebenarnya. Setelahnya, pelaku korupsi akan mengambil selisih dana bantuan berdasarkan angka nyata dan angka manipulasi.
  2. Penyunatan dana bantuan oleh aparat birokrasi kepada warga korban. Dengan berbagai dalih, kerap aparat birokrasi memaksa warga korban untuk menandatangani bukti penerimaan yang tidak sesuai dengan jumlah uang yang diterima. Situasi yang mendesak, kebutuhan atas dana bantuan, dan ketidakberdayaan korban bencana dimanfaatkan oleh pelaku untuk menekan. Hasilnya, warga korban dengan sangat terpaksa menandatangani bukti penerimaan uang yang tidak benar.
  3. Proyek fiktif. Data yang tidak valid serta berbeda-beda antara satu unit dan unit lainnya turut menyuburkan berbagai macam proyek fiktif, terutama dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Dobel alokasi anggaran, ulah kontraktor yang nakal, serta aparat birokrasi yang korup menjadi salah satu faktor menjamurnya proyek fiktif dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk satu proyek pembangunan infrastruktur sangat mungkin akan dilaporkan oleh dua instansi yang berbeda.
  4. Wanprestasi kontraktor atas berbagai macam pekerjaan untuk membangun kembali infrastruktur serta pengadaan sarana dan prasarana pascabencana. Banyak gedung, jalan, rumah pengungsi, serta fasilitas sosial dan umum lainnya yang tidak sesuai dengan spesifikasi dan standar kualitas yang telah ditentukan. Dengan memanfaatkan situasi darurat, tiadanya mekanisme tender dalam pengerjaan proyek pemerintah telah memberi kontribusi bagi terjadinya salah urus dalam penanganan proyek. Bahkan terkadang aparat birokrasi yang mengendalikan pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi terlibat sekaligus sebagai kontraktor.

Walaupun banyak permasalahan yang terjadi dalam penanganan korban bencana, bukan lantas kewajiban akuntabilitas lembaga/instansi penyelenggara penanggulangan bencana gugur. Lembaga/instansi tersebut harus tetap menegakkan akuntabilitasnya. Berikut ini beberapa contoh proses untuk meningkatkan akuntabilitas sebuah lembaga:[4]

  1. Kejelasan arus penerimaan, baik itu berupa besar dana bantuan maupun asal dari dana bantuan tersebut. Instansi/lembaga harus terbuka terhadap publik dengan data-data pemasukan dana bantuan yang ada.
  2. Proses penyaluran dana bantuan juga menjadi penting dalam menegakkan akuntabilitas instansi/lembaga. Transparan disini bukan hanya persoalan besaran pengeluaran saja, tetapi juga program yang akan atau sudah dilakukan kaitannya dalam penanganan bencana. Program apa saja yang telah dilakukan untuk menangani proses tanggap darurat, dimana tempat, dan informasi warga korban bencana yang mendapatkan bantuan dana.
  3. Pelibatan instansi-instansi terkait. Penanganan bencana bukanlah penanganan yang bersifat sendiri-sendiri. Tapi koordinasi antar instansi sangatlah penting untuk menangani bencana. Dengan koordinasi antar instansi seperti ini akuntabilitas akan lebih baik terbangun, karena masing-masing akan saling mengawasi.
  4. Pelibatan penerima manfaat (beneficiaries) atau korban bencana itu sendiri. Di sisi ini lembaga perlu membuat kajian yang mendalam atas dampak bantuan yang telah disalurkan.  Kaji dampak ini bisa dilakukan secara reguler dan diinformasikan kepada publik.

Dari keempat proses diatas, boleh kiranya saya menganggap bahwa proses pertama dan kedua lebih ke teknokratis administratif, sedangkan proses ketiga dan keempat adalah proses yang lebih kearah politis. Dalam implementasinya kedua proses baik itu teknokratis administratif maupun politis sama-sama lemah di Indonesia.

Analisa Aktor

Dalam proses akuntabilitas pengelolaan dana bantuan bencana tersebut setidaknya ada:

  1. BNPB/BPBD adalah badan bentukan pemerintah nasional (BNPB) dan pemerintah daerah (BPBD) yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menangani penanganan bencana yang terjadi di Indonesia, baik dalam pengelolaan dana bantuan maupun program.
  2. Inspekrorat jenderal BNPB/BPBD adalah lembaga inspektorat eksekutif yang mengawasi internal dari BNPB/BPBD
  3. Pemerintah Daerah bisa berperan sebagai institusi yang menangani penanganan bencana dan dana bantuan yang telah diusulkan sebelumnya ke BNPB/BPBD
  4. BPK atau Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga yang mengawasi penggunaan dana bantuan yang telah dicairkan dari kas negara. BPK akan melakukan pengawasan terhadap institusi yang menggunakan uang negara tersebut.
  5. Lembaga donor/kemanusiaan non pemerintah adalah lembaga yang melengkapi dan berkolaborasi dengan negara dalam menangani dan membantu korban bencana. Lembaga ini mempunyai mekanisme akuntabilitas sendiri.
  6. Media massa juga mempunyai peran dalam membantu mewujudkan akuntabilitas dari lembaga/institusi tertentu, karena pada dasarnya media massa adalah penghubung publik.

 

 

PENUTUP

Pengelolaan dana bantuan bencana mempunyai skope yang sangat luas sekali. Penanganan bencana tidak hanya dipandang hanya dalam masa tanggap darurat saja, melainkan ada sebuah siklus atau proses yang sangat kompleks. Di siklus tersebut ada proses prabencana atau kesiap-siagaan, proses tanggap darurat, proses pasca bencana atau rekonstruksi dan rehabilitasi. Semua tahapan proses tersebut sebenarnya penting semua dan patut kita perhatikan semua. Pengalaman di Indonesia, proses penanggulangan bencana terkadang baru fokus ke proses tanggap darurat saja. Sedangkan proses yang lain sering kurang perhatian baik itu program maupun dukungan financial. Untuk itu perlu kiranya negara mulai memperhatikan tahapan yang lain sehingga proses penanggulangan bencana bisa berjalan dengan baik.

Dalam proses penanggulangan bencana, dukungan financial sangatlan penting untuk menangani bencana dan merehabilitasi serta merekonstruksi kembali. Bahkan tak sedikit bantuan baik dari masyarakat dalam negeri maupun bantuan negara asing yang masuk ke dalam dana bantuan yang dikelola negara. Kini saatnya pemerintah kembali meningkatkan akuntabilitas sebagai bukti kepercayaan publik dan transparansinya terhadap penggunaan dana bantuan sebagai pertanggungjawaban pemerintah. Kendala teknokratis-administratif memang sering lambat dalam kondisi krisis saat bencana. Ini perlu diperhatikan karena aturan administrasi memang penting sebagai data dalam pertanggungjawaban atau laporan nantinya. Point yang juga tak kalah penting adalah akuntabilitas secara politis. Pemerintah dalam hal ini perlu menjalin hubungan dengan instansi lain, selain untuk koordinasi agar penanganan bencana lebih efektif dan efisien juga bisa memunculkan mekanisme saling mengawasi antar instansi. Hubungan dengan masyarakat korban bencana juga perlu dijalin sehingga pemerintah juga mengenal benar apa yang dibutuhkan masyarakat korban bencana dan informasi keterbukaan publik juga tersampaikan.


[1] Essay oleh Geneng Dwi Yoga Isnaini yang berjudul Penanggulangan Bencana, Antara Regulasi dan Implementasi dalam Jurnal Transisi Volume 3 No. 2 tahun 2009

[2] Diakses dari http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=62 pada hari Selasa, 30 November 2010 pada pukul 20.10 WIB

[3]Diakses dari http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/18658/mewaspadai-penyimpangan-dana-bencana pada hari Selasa, 30 November pada pukul 20.15 WIB

[4] Diakses dari http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=62 pada hari Selasa, 30 November 2010 pada pukul 20.10 WIB

“CHECKS AND BALANCES ANTAR LEMBAGA PEMERINTAHAN”

Tinggalkan komentar

I. PENDAHULUAN

Konsep negara sebagai organisasi kekuasaan, telah memunculkan banyak sekali perdebatan. Bermacam–macam pemikiran teori negara dan kekuasaan berkembang dari waktu ke waktu, menjelaskan bagaimana seharusnya negara sebagai representasi rakyat mengatur dan mengeloloa kekuasaan untuk kepentingan bersama. Dimulai dari ketakutan rakyat pada zaman dahulu, ketika berkembang negara dengan keabsolutannya serta konsep otoritarianisme yang menimbulakan banyak kesengsaraan pada rakyatnya. Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Bahwa kekuasaan yang tersentral/terpusat pada satu tangan akan mudah disalahgunakan/diselewengkan. Untuk itu hadir sebuah konsep yang menjelaskan bagaimana kekuasaan disebarkan, agar tidak terkonsentrasi pada satu  tangan, Konsep itu adalah demokrasi, yang sangat lekat dengan prisnsip trias politikanya. Bahwa untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan maka dalam penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan harus dibagi antara eksekutif (sebagai  pelaksana) legislatif (sebagai pembuat undang-undang) dan yudikatif (sebagai pengawas). Sebagai akibat pembagian kekuasaan kenegaraan ini timbullah lembaga-lembaga kenegaraan (institutions gouvernementales), yang masing-masing diserahi dan melakukan bidang kekuasannya[1]. Masing-masing institusi tersebut harus mempunyai kekuasaan yang terpisah dan mapu berjalan sendiri tanpa saling mempengaruhi dan terpengaruh serta tidak saling mencampuri. Kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupun mengenai perlengkapan (orgaan) yang melakukannya[2]. Selanjutnya, bahwa di dalam ajaran trias politica itu terdapat suasana “check andbalances” dimana didalam hubungan antar lembaga negara tersebut saling menguji karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah ditentukan atau masing lembaga tidak amu dicampuri kekuasaannya sehingga natar lembaga-lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan[3]. Ketiga lembaga negara tersebut harus berjalan sesuai mekanisme check and balances, saling mengontrol/mengawasi dan menyeimbangkan.

Indonesia adalah salah satu negara yang mengadopsi sistem tersebut dalam menjalankan pemerintahannya. Di Indonesia juga telah hadir ketiga lembaga tersebut (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Namun itu hanya sesuatu yang indah pada teorinya saja. Dalam prakteknya ketiga lembaga tersebut masih bisa melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Mekanisme check and balances belum terwujud secara efektif. Masih banyak hal yang rancu bagaimana seharusnya kekuasaan dikelola melalui ketiga lembaga tersebut, karena pada kenyataannya justru ada beberapa hal yang menjadi permasalahan baru. Bagaimana kontrol dan menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga tersebut? Bagiamana institusi-institusi tersebut harus bersikap kaitannya dengan mekanisme check and balances? Bagaimana menghindari ketimpangan-ketimpangan kekuasaan yang terjadi jika badan-badan tersebut berdiri sendiri-sendiri, karena bagaimanapun juga kekuasaan akan mudah terkontrol jika terpusat. Dan akan banyak kepentingan-kepentingan dari masing-masing lembaga yang akan berbenturan dan menyebabkan macet jalannya pemerintahan. Bahwa mekanisme check and balances tidak bisa dilihat dari dua lembaga saja, namun tiga lembaga sekaligus, lain jika dilihat dari pergeseran kekuatan yang dominan, hal tersebut bisa dilihat antara dua lembaga saja.

II. PEMBAHASAN

Secara normatif antara lembaga-lembaga negara tersebut harus tercipta mekanisme check and balances. Institusi-institusi tersebut harus bekerja sama, sinergi dalam menjalankan pemerintahan. Walaupun ketiga lembaga tersebut mempunyai wilayah kekuasaan dan kewenagan masing-masing yang berbeda, saling mengawasi dan mengontrol serta mengimbangi kekuasaan atau menghindari dominasi baik itu dari eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun dari itu semua penulis menemukan beberapa mekanisme check and balances yang sebenarnya telah digunakan oleh ketiga lembaga tersebut.

Untuk mencegah jangan sampai suatu parlemen mempunyai kekuasaan yang melebihi badan-badan lainnya, bisa diadakan suatu sistem kerjasama dalam tugas yang sama, yaitu membuat undang-undang antara parlemen dengan pemerintah, atau didalam parlemen itu dibentuk dua kamar yang akan saling mengadakan perimbangan[4]. Di Indonesia hal ini direpresentasikan dengan adanya DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Kekuasaan pembuatan undang-undang yang dipegang DPR dan DPD sebagai co-legislator, diawasi dan diimbangi kekuasaan presiden untuk mengajukan dan membahas RUU, serta ketentuan bahwa suatu RUU harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan presiden untuk dapat menjadi suatu UU[5]. Dan yudikatif juga mengawasi apakah UU dari legislative dan eksekutif sesuai dengan konstitusi negara. Kekuasaan pembuatan Lembaga legislatif juga harus kuat dalam melakukan kontrol terhadap eksekutif agar tidak terlalu dominan juga, namun bukan berarti legislatif boleh mencampuri kekuasaan eksekutif.

Lembaga yudikatif atau disebut juga lembaga pengadilan bertugas untuk mengawasi lembaga eksekutif maupun legislatif, apakah kedua lembaga tersebut berjalan sesuai dengan rule of law. Untuk itu perlu juga lembaga yudikatif bersifat obyektif dan tidak terpengaruh oleh lembaga lain walaupun dahulu pimpinan yudikatif diangkat dari pihak eksekutif dan disetujui legislatif. Jika kekuasaan itu diberikan kepada suatu alat perlengkapan negara yang tidak bebas dan karena itulah tidak obyektif pula, maka kekuasaan itu akan dipergunakannya untuk meneguhkan kedudukannya atau oleh penyelenggara alat perlengkapan itu akan dipakainya ialah untuk mencipta suatu maksud yang lain dari pada memelihara keadilan[6]. Oleh karenanya penting jika kekuasaan yudikatif mandiri merdeka dan terpisah. Kemudian lembaga yudikatif tersebut harus berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ada yang ditetapkan legislatif dan juga terkontrol dari eksekutif maupun legislatif. MK juga memiliki peran mengawasi dan mengimbangi kekuasaan eksekutif dalam bentuk menguji UU terhadap UUD, dimana presiden juga berperan sebagai co-legislator[7].

Berikut ini adalah perbandingan eksekutif-yudikatif-legislatif dari periode awal sampai dengan amandemen konstitui yang ke 4. [8]

Eksekutif

Legislatif

Yudikatif

Republik Pertama: 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949

  • Soekarno  dan M. Hatta sebagai pimpinan eksekutif
  • Pemimpin dengan figure kharismatik tradisional berwawasan barat

 

  • Belum terbentuk
  • Lembaga perwakilan baru diperkenalkan pada abad 20 dalam bentuk Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai bagian dari politik etis tahun 1918.
  • Pada awalnya Volksraad hanyalah sekadar memberi pertimbangan kepada Gubernur Jenderal.
  • Sesuai dengan amanat UUD yang ditetapkan PPKI, pembentukan lembaga perwakilan yang bersifat sementara
  • Komite Nasional Pusat sebagai Parlemen Pertama di dalam sejarah Negara Republik Indonesia dan dilantik Presiden Soekarno

Republik Kedua: 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950

  • Pemerintah Federasi: negara bagian (7) dan pemerintah negara berdaulat (9)
  • Kepala Pemerintahan: Perdana menteri
  • Terdapat kerancuan di lembaga eksdekutif karena perdana menteri RIS dijabat oleh wakil presiden M. Hatta
  • Belum terbentuk
  • UU RIS dibuat oleh pemerintah Indonesia dan pemerintah colonial Belanda difasilitasi Inggris
  • Ketidakjelasan akan penerapan sistem presidensiil dan parlementer

Republik Ketiga: 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959

  • Perdana Menteri
  • Demokrasi liberal menempatkan Presiden memiliki kekuasaan kuat
  • Soekarno condong ke haluan kiri (sosialisme).
  • Konflik antara ideology liberalis vs. sosialis
  • Kegagalan kerja dewan konstituante memunculkan demokrasi terpimpin
  • Kekuasan Mahkamah Agung sangat besar
  • Hukum menjadi primadona
  • DPAS
  • Parlementer: MPRS dan DPRS
  • Demokrasi liberal/konstitusional, anggota legislative berdebat dengan santun dan intelektual
  • Dewan Konstituante tidak mampu menuntaskan pembahasan konstitusi aspek ideology, HAM tidak bermasalah sama sekali

 

Republik Keempat: 5 Juli 1959, Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru
  • Demokrasi Terpimpin
  • Poros Jakarta-Peking
  • Proyek mercu suar
  • Eksekutif menjadi sentral sistem politik
  • Hegemonisasi kekuasaan otoriter militer
  • Soekarno menyerahkan kekuasaan dengan Supersemar kepada Soeharto
  • Berlakunya sistem presidensiil oleh Presiden Soeharto pasca G30S/PKI

 

  • Lembaga peradilan lemah
  • MA berada di bawah kekuasaan eksekutif (dalam kementerian)
  • Masa orde baru, penunjukan ketua MA oleh Presiden
  • Masalah netralitas lembaga yudikatif

 

  • Sangat lemah terhadap eksekutif Patron-client eksekutif legislatif: MPR dan DPR
  • Masa orde baru: MPR, DPR, DPRD Tk. I, DPRD Tk. II, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah
  • MPR sebagai lembaga tertinggi negara

 

Republik Kelima: – Amandemen Konstitusi Ke-4

  • Posisi Lebih lemah ketimbang legislatif
  • Tidak memiliki hak veto perundangan legislatif
  • Terbentuknya komisi-komisi
  • Sistem pemerintahan presidensiil
  • Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh MPR
  • Presiden tidak bertanggung jawab secara politis kepada MPR, tidak juga kepada DPR karena kedudukannya yang sejajar.
  • Namun, Presiden memiliki pertanggungjawaban hukum apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianata terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
  • Mekanismenya melalui sebuah proses impeachment yang diawali oleh peran DPR untuk menilai apakah benar telah terjadi pelanggaran hukum oleh Presiden RI.

 

  • Pada sisi kekuasaan yudikatif, UUD 1945 dan perubahannya menetapkan (tiga) lembaga yang terkait dengan pelaksanaan kekuasaan yudikatif, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial Yudisial
  • Konflik kelembagaan antara MA, MK, dan KJ.

 

  • Legislative heavy
  • MPR menjadi lembaga tinggi negara
  • Kedaulatan berada di tangan rakyat dilaksanakan sepenuhnya menurut undang-undang (bukan MPR lagi)
  • MPR, DPR, DPRD, dan DPD sejajar
  • MPR sebagai joint session DPR dan DPD (kontroversi) trikameral dan bicameral)
  • Perundangan legislatif dapat terbit tanpa persetujuan eksekutif
  • Dewan memiliki kewenangan dalam pencalonan Hakim Agung, Hakim Konstitusi, dan Anggota Komisi Yudisial.
  • rakyat (kewenangan terbatas menjadi persoalan kesejajaran dengan DPR)
  • Selain itu, terdapat satu penegasan bahwa DPR adalah lembaga perwakilan yang seluruh anggotanya dipilih langsung oleh rakyat.
  • DPD keanggotaannya dipilih langsung oleh rakyat

 

Dalam table diatas terlihat bahwa dalam mekanisme check and balances tetap ada institusi yang dominan, entah itu eksekutif maupun legislatif. Namun belum pernah yudikatif memiliki kekuasaan yang independen. Keberadaannya selalu bergantung dengan eksekutif ataupun legislatif (dipaparkan pada paragraph sebelumnya).

Mekanisme check and balances memang mempunyai dampak positif yang bisa mencegah dominasi dari salah satu lembaga, namun juga mekanisme tersebut mempunyai dampak negatif seperti terkadang timbul kebuntuan jalan dan membuat jalannya pemerintahan berhenti. Pada tataran praktis, keadaan tidak seperti yang diharapkan. Beberapa kasus seperti yang telah diungkapkan pada bab pendahuluan terjadi, banyak kepentingan-kepentingan yang berbenturan dan saling tarik ulur. Setiap lembaga mempunyai keinginan sendiri. Sehingga tak jarang menyebabkan jalannya pemerintahan yang tersendat. Dengan ini perlu sekali ditegaskan masing-masing jalan dan kekuasaan antar lembaga. Kekuasaan antara ketiga lembaga harus dipisahkan secara tegas unuk menghindari ketimpangan-ketimpangan kekuasaan, baik dari fungsi maupun perlengkapannya. Karena ada beberapa kelemahan yang penulis dapat seperti, ketimpangan Departemen Kehakiman sebagai perlengkapan eksekutif dengan lembaga yudikatif. Bahwa untuk menjamin badan-badan yang melakuykan kekuasaan kehakiman itu betul-betul merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 maka tidak dapat dibenarkan, bahwa badan-badan peradilan dalam lingkunagan peradilan umum (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri) baik secara organisatoris maupun secara administrative maupun finansiil berada dibawah kekuasaan kementerian kehakiman, tetapi seharusnya merupakan alat perlengkapan negara yang berdiri sendiri, terlepas dari lingkungan kekuasaan pemerintah[9]. Bahkan, saat itu Departemen Kehakiman memiliki pengaruh yang besar terhadap kedudukan para hakim. Sistem pembagian kekuasaan tersebut melahirkan struktur kekuasaan yang executive heavy dan berpotensi melahirkan pemerintahan otoritarian[10]. Jadi disini perlu ditegaskan lagi jalan, fungsi dan perlengkapan masing-masing lembaga-lembaga negara tersebut. Dan jika ada persengketaan antara lembaga tersebut, maka MK harus berperan dalam menyelesaikannya, meguji permasalahan sesuai dengan konstitusi yang telah ditetapkan dan segera bertindak menyelesaikannya agar kebuntuan jalan tidak berlarut-larut.

Masing-masing lembaga negara selain saling mengawasi dan mengontrol, harus mempunyai asas kesatuan dan saling keterkaitan untuk membagun negara. Negara akan hancur tanpa yudikatif, negara kan berhenti tanpa eksekutif, dan negara akan tidak terkontrol tanpa legislative. Semuanya mempunyai peran penting namun saling membutuhkan. Masing-masing lembaga harus bias bersinergi, koordinasi dan kerjasama. Suatu kerjasama bisa mengurangi sikap konfrontatif antar lembaga yang pada bebrapa hal tidak perluterjadi atau dapat mencegah suatu oposisi yang kurang sehat[11]. Ketiga lembaga tersebut harus bisa membedakan antara tugas kewenagan sendiri (yang tidak ada sangkut pautnya dengan lembaga lain) dan tugas kewenangan yang berhubungan dan berimplikasi terhadap lembaga lain, sehingga masing-masing lembaga bisa mengambil keputusan yang sesuai. Jadi dibedakan antara keputusan yang harus ditangani dua atau ketiga lembaga tersebut dengan keputusan yang bisa diambil cukup oleh satu lembaga saja yang sesuai dengan tugasnya. Seperti pembahasan UU atau pengajuan gubernur BI, lembaga eksekutif dan legislatif berwenang dalam hal itu, jadi masing-masing lembaga tersebut harus bisa koordinasi tidak berdiri dengan prinsipnya masing-masing. Mengorbankan kepentingan pribadi/golongan diatas kepentungan bersama

Hal lain yang dirasa perlu adalah tumbuhkan kepercayaan lembaga dalam lingkungan ketiga lembaga tersebut dan tanamkan asas kekeluargaan. Kepercayaan yang tertanam kan memnbua masing-masing institusi berjalan dalam rule masing-masing dan tidak saling mencurigai. Namun rasa kepercayaan dan kekeluargaan tersebut tidak menjadi alasan lembaga tersebut takut atau segan jika memang ada penyimpangan. Persoalan-persoalan yang justru perlu mendapat perhatian unruk diselesaikan, karena asas kekeluargaan sering dianggap seperti tidak ada untuk mencegah lebih runcingnya suatu keadaan[12]

III. KESIMPULAN

Permasalahan-permasalahan institusi seperti yang telah dituliskan pada bab pembahasan tersebut adalah konsekuensi dari dispersion of power dalam hal ini trias politika. Namun bukan berarti hal tersebut buruk, tapi itu adalah sebuah proses bagaimana negara akan menemukan jalan kekuasaan yang bisa dikelolanya dengan benar tanpa menyimpang.

Dalam penerapan konsep trias politica memang sangat dilematis, karena dimasing-masing negara berbeda-beda dan banyak yang mempengaruhi apakah hal tersebut cocok dilaksanakan dalam negaranya masing-masing. Seperti keadaan sosial politik, pengaruh dari pola partai politik diterapkan, dan lain-lainnya. Dalam sistem pemerintahan demokrasi secara ini kata M. Duverger maka dengan timbulnya faktor partai politik itu hubungan antara lembaga-lembaga pemerintahan negara serta cara-cara badan-badan itu bertindak, sudah berubah dalam dasar-dasarya, maka maka dasar trias politika yang menetapkan pembagian kekuasaan dan tugas kenegaraan itu secara fundamentil, dengan perkembangan pemerintahan demokrasi serta sistem kepartaian itu pada dasarnya sudah menjadi kabur[13]. Setidaknya kita telah memilih trias politika sebagai jalan pemerinthan dan kita harus menerima konsekuensi yang terjadi. Pemisahan kewenangan dan kekuasaan harus tegas dan fungsikan MK sebagai penyelesai persengketaan lembaga jika terjadi dengan mengacu konstitusi negara kita. Saling meningkatkan fungsi mengawasi, mengontrol dan koordinasi serta sinergi dalamm menjalanan roda pemerintahan serta tumbuhkan kepercayaan dan kekeluargaan antara lembaga pemerintahan.


[1] Lihat dalam Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, 1960 : hal 29.

[2] Lihat dalam Mr. Ismail Suny, Pembahagiaan Kekuasaan Negara, 1962: hal 8

[3] Lihat dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 1978: hal 31

[4] Ibid, hal: 31

[5] Disampaikan oleh Janedjri M Jafar dalam judul Konstitusi Indonesia Checks and Balances, diambil dari http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=7826&coid=3&caid=21

[6] T.L.N. no 18

[7] Disampaikan oleh Janedjri M Jafar dalam judul Konstitusi Indonesia Checks and Balances, diambil dari http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=7826&coid=3&caid=21

[8] “Menuju Mekanisme check  And Balance Eksekutif  Legislatif, Dan Yudikatif yang Fair Pasca Amandemen UUD 1945 Ke-4” lihat dalam http://raconquista.files.wordpress.com/2007/09/raconquista-minggu-vi.doc.

[9] Lihat dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 1978: hal 141.

[10]Disampaikan oleh Janedjri M Jafar dalam judul Konstitusi Indonesia Checks and Balances, diambil dari http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=7826&coid=3&caid=21

[11] . Lihat dalam Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 1978: hal 157-158.

[12] Ibid, hal 157

[13] Lihat dalam Mr. Kuntjoro Purbopranoto, Sedikit Tentang Sistem Pemerintahan Demokrasi, 1960 : hal 29.

Hello world!

1 Komentar

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!